Rina mematut diri di depan cermin. Ini adalah hari yang paling di
nantikannya, hari pernikahannya. Ada banyak alasan kenapa akhirnya dia
bersedia menikah dengan Hans. Dan seks adalah salah satunya, meskipun
Hans hanya mempunyai sebuah penis yang kecil saja. Namun seks dengan
lelaki lain menjadi jauh lebih menyenangkan meskipun sejak Hans telah
menyematkan sebuah cincin berlian di jarinya. Dia merasa bersalah dan
membutuhkannya dalam waktu yang bersamaan, setiap kali dia merasakan
cincin tersebut di jarinya saat lelaki lain sedang meyetubuhi vaginanya
yang dijanjikannya hanya untuk Hans.
Dia ingat saat malam dimana
Hans melamarnya. Dia tersenyum, mengangguk dan berkata “ya”, menciumnya
dan menikmati bagaimana nyamannya rasa memakai cincin berlian yang
sangat mahal tersebut. Dan setelah makan malam bersama Hans itu, dia
langsung menghubungi Alan, begitu mobil Hans hilang dari pandangan,
mengundangnya datang ke rumah kontrakannya. Rina menunggu Alan dengan
tanpa mengenakan selembar pakaianpun untuk menutupi tubuhnya yang
berbaring menunggu di atas tempat tidurnya, cincin berlian yang baru
saja diberikan oleh Hans adalah satu-satunya benda yang melekat di tubuh
telanjangnya. Ada desiran aneh terasa saat matanya menangkap kilauan
cincin berlian itu waktu tangannya menggenggam penis gemuk Alan.
Tubuhnya tergetar oleh gairah liar saat tangannya mencakup kedua
payudaranya dengan sperma Alan yang melumuri cincin itu. Dan oergasme
yang diraihnya malam itu, yang tentu saja bersama lelaki lain selain
tunangannya, sangat hebat - tangan yang tak dilingkari cincin menggosok
kelentitnya dengan cepat sedangkan dia menjilati sperma Alan yang berada
di cincin berliannya. Dia menjadi ketagihan dengan hal ini dan
berencana akan melakukannya lagi nanti pada waktu upacara perkawinannya
nanti.
Saat ini, dia memandangi pantulan dirinya di dalam cermin
mengenakan gaun pengantinnya. Dia terlihat menawan, dan dia sadar akan
hal itu. Rina tersenyum. Dia membayangkan nanti pada upacara
pernikahannya, teman-teman Hans akan banyak yang hadir dan akan banyak
lelaki lain yang akan dipilihnya salah satunya untuk memenuhu fantasi
liarnya. Vaginanya berdenyut, dan dia membayangkan apa yang akan
dilakukannya untuk membuat hari ini lebih komplit dan sempurna, saat
lonceng berbunyi nanti.
Saat dia membuka pintu, ayah Hans, Darma,
sedang berdiri di sana, bersiap untuk menjemputnya dan mengantarnya ke
gereja. Rina menarik nafas dalam-dalam. Dia tahu lelaki di hadapannya
ini sangat merangsangnya - beberapa bulan belakangan ini dia telah
berusaha untuk menggodanya, dan dia pernah mendengar lelaki ini
melakukan masturbasi di kamar mandi saat dia datang berkunjung ke rumah
Hans, menyebut namanya. Rina belum pasti apakah mudah nantinya untuk
menggoda Darma agar akhirnya mau bersetubuh dengannya, tapi sekarang dia
akan mencari tahu tentang hal tersebut. Dia tersenyum lebar saat
menangkap mata Darma yang manatap tubuhnya yang dibalut gaun pengantin
ketat untuk beberapa saat.
“Ayah” tegurnya, dan memberinya sebuah
ciuman kecil di pipinya. Parfumnya yang menggoda menyelimuti penciuman
Darma. “Ayah datang terlalu cepat, aku belum siap. Tapi ayah dapat
membantuku.” Digenggamnya tangan Darma dan menariknya masuk ke dalam
rumah kontrakannya, tempat yang akan segera ditinggalkannya nanti
setelah menikah dengan Hans.
Darma mengikutinya dengan dada yang
berbar kencang. Ini adalah saat yang diimpikannya. Dia heran bagaimana
anaknya yang pemalu dan bisa dikatakan kurang pergaulan itu dapat
menikahi seorang wanita cantik dan menggoda seperti ini, tapi dia senang
karena nantinya dia akan mempunyai lebih banyak waktu lagi untuk
berdekatan dengan wanita ini. “Apa yang bisa ku bantu?”
Rina berhenti di ruang tengahnya yang nyaman lalu duduk di sebuah meja.
“Aku belum memasang kaitan stockingku… dan sekarang, dengan pakaian ini… aku kesulitan untuk memasangnya.”
Suaranya
terdengar manis, tapi matanya berkilat liar menggoda. Diangkatnya
tepian gaun pengantinnya, kakinya yang dibungkus dengan stocking putih
dan sepatu bertumit tinggi langsung terpampang.
“Bisakah ayah membantuku memasangnya?”
Darma
ragu-ragu untuk beberapa waktu. Jantungnya berdetak semakin cepat.
Apakah ini sebuah “undangan” untuk sesuatu yang lain lagi, ataukah hanya
sebuah permintaan tolong yang biasa saja? Dia mengangguk.
“Oh,
tentu…” dia berlutut di hadapan calon istri anaknya dan bergerak meraih
kaitan stockingnya. Jemarinya sedikit gemetar saat Rina dengan pelan
mengangkat kakinya . Darma berusaha untuk memasangkan kaitan stocking
itu.
Rina menggigit bibir bawahnya menggoda, dan lebih menaikkan
gaunnya, menampakkan paha panjangnya yang dibalut stocking putih. Dia
dapat merasakan sebuah perasaan yang tak asing mulai bergejolak dalam
dadanya., sebuah tekanan nikmat yang membuat nafasnya semakin sesak,
membuat nafasnya semakin memburu, dan membuatnya semakin melebarkan
kakinya. Dia dapat merasakan cairannya mulai membasahi. Kaitan itu
akhirnya terpasang di sekitar lututnya. Darma menghentikan gerakannya,
tak yakin apakah dia sudah memasangkan dengan benar.
“Ayah,
seharusnya lebih ke atas lagi…” tangan calon ayah mertuanya yang berada
sedikit dibawah vaginanya membuatnya menjadi berdenyut dengan liar.
Keragu-raguan
itu hanya bertahan untuk beberapa saat saja. Tangan Darma menarik
kaitan itu semakin ke atas saat calon istri anaknya meneruskan
mengangkat gaun pengantinnya semakin naik. Dia menelan ludah membasahi
tenggorokannya yang terasa kering saat akhirnya kaitan itu terpasang
pada tempatnya di bagian paling atas stockingnya. Dia yakin dapat
mencium aroma dari vagina Rina sekarang, yang membuat jantungnya seakan
hendak melompat keluar dari dadanya. Tangannya berhenti, kaitan stocking
itu melingari bagian atas paha Rina… dan dia merasakan bagian gaun
pengantin itu terjatuh saat Rina melepaskan sebelah pegangannya untuk
meraih bagian belakang kepalanya dan mengarahkan wajah ayah calon
suaminya mendekat ke vaginanya, dan Darma menemukan tak ada celana dalam
yang terpasang di sana.
Rina melenguh dan memejamkan matanya saat
harapannya terkabul. Darma tak memprotes atau menolaknya, lidahnya
menjilat tepat pada bibir vaginanya, dan Rina semakin basah dengan
cairan gairahnya. Dengan sebelah tangan yang masih menahan gaun
pengantinnya ke atas, dan yang satunya lagi menekan wajah calon
mertuanya ke vaginanya yang terbakar, dia mulai menggoyangkannya
perlahan. Ini serasa di surga, dan menyadari apa yang diperbuatnya tepat
di hari pernikahannya membuat tubuhnya semakin menggelinjang. Dia
mengerang saat lidah Darma memasuki lubangnya, dan lidah itu mulai
bergerak, menghisap bibir vaginanya, menjilati kelentitnya, wajah Darma
belepotan dengan cairan kewanitaan calon istri anaknya di ruang tengah
rumah kontrakannya.
Semakin Rina menggelinjang, semakin keras pula Darma menghisapnya.
“Oh
ya ayah… jilat vaginaku… buat aku orgasme sebelum aku mengucapkan
janjiku pada putramu… kumohon…” perasaan salah akan apa yang mereka
perbuat membuat Rina dengan cepat meraih orgasmenya, dan hampir saja dia
rubuh menimpa Darma. Ini bukan seperti orgasme yang biasa diraihnya,
ini seperti rangkaian ombak yang menggulung tubuhnya, merenggut setiap
sel kenikmatan dari dalam tubuhnya.
Cairan Rina terasa nikmat pada
lidah Darma, dia menjilat dan menghisap vaginanya seperti seorang
lelaki yang kehausan. Penisnya terasa sakit dalam celananya, cairan pre
cum nya membasahi bagian depan tuxedonya.
Rina kembali
menggelinjang, lalu dengan pelan bergerak mundur, membiarkan gaun
pengantinnya menutupi ayah Hans. Lalu dia membuka resleting di bagian
belakang gaunnya dan membiarkannya jatuh menuruni tubuhnya. Dia
melangkah keluar dari tumpukan gaun pengantinnya yang tergeletak di atas
lantai, hanya mengenakan sepatu bertumit tingginya, bra, dan tentu saja
stocking beserta kaitannya yang baru saja dipasangkan Darma pada
pahanya. Rina tersenyum padanya, vaginanya berkilat dengan cairannya.
“Aku
akan ke kamar mandi untuk membetulkan make-up, kalau ayah memerlukan
sesuatu…” dia berkata dengan mengedipkan matanya. Darma menatapnya
melenggang dan menghilang di balik pintu, begitu feminim dan menggoda.
Hanya beberapa detik kemudian dia menyusulnya.
Saat dia memasuki
kamar mandi dan berdiri di depan sebuah cermin di atas washtafel, dan
sudah mengenakan sebuah celana dalam berwana putih. Darma tahu kalau ini
adalah salah satu godaannya yang manis, dan dia telah siap untuk
bermain bersamanya.
Rina melihatnya masuk, dan dengan sebuah
gerakan yang cantik membuka lebar pahanya. Darma melangkah ke
belakangnya, mata mereka saling terkunci dalam masing-masing bayangannya
dalam cermin. Tangan Darma bergerak ke bagian depan tubuhnya,
menggenggam payudaranya yang masih ditutupi bra. Rina tersenyum. “Tapi
ayah, bukankah ini tak layak dilakukan oleh seorang ayah calon pengantin
pria?”
Darma memandangi bagaimana bibir Rina yang membuka saat
bicara, mendengarkan hembusan hangat nafasnya, seiring dengan tangannya
yang meremasi payudaranya dalam balutan bra. “Tak se layak apa yang akan
kulakukan padamu.”
Rina menggigit bibirnya dan mendorong pantatnya menekan penisnya yang mengeras.
“Aku nggak sabar,” bisiknya.
Sejenak
kemudian Rina merasakan tangan calon ayah mertuanya berada di
belakangnya saat dia melepaskan sabuk dan membiarkan celananya jatuh
turun. Dengan mudah tangan Darma menarik celana dalamnya ke samping.
Rina menarik nafas dalam-dalam saat dia merasakan daging kepala penisnya
menekan bibir vaginanya yang masih basah.. Dia mengerang dan memegangi
tepian washtafel saat dengan perlahan Darma mulai mendorongkan batang
penis itu memasukinya. Rina merasakan bibir vaginanya menjadi terdorong
ke dalam, merasakan dinding bagian dalamnya melebar untuk menerimanya.
“Apa
ini terasa lebih baik dari penis putaku?” Darma tersenyum puas. Dia
tahu se berapa ukuran penis putranya, dan dia yakin kalau putranya
mewarisinya dari garis ibunya. Vagina calon istri putranya terasa sangat
menakjubkan pada batang penisnya, dengan cepat dia sadar kalau dia
layak untuk menyetubuhi calon menantunya lebih sering dibandingkan
putranya. Dan dia mendapatkan firasat kalau dia bisa melakukannya
kapanpun mereka memiliki kesempatan.
“Oh brengsek!!! Ya Ayah… ayo…
beri aku yang terbaik untuk merayakan pernikahanku dengan putra
kecilmu.” dia lebih membungkuk ke bawah, dan merasakan tangan Darma pada
pinggulnya. Dia mencengkeramnya dengan erat dan mulai memompanya keluar
masuk. Mereka sadar akan terlambat menghadiri upacara pernikahan, tapi
Darma memastikan vagina sang mempelai wanita benar-benar berdenyut
menghisap sehabis persetubuhan keras yang lama. Rina mengerang dan
menjerit dan bergoyang pada batang penis itu, mengimbangi gerakannya.
Mereka saling memandangi bayangan mereka berdua di dalam cermin saat
menyalurkan nafsu terlarang mereka.
Rina merasa teramat sangat
nakal, disetubuhi dengan layak dan keras oleh ayah calon suaminya tepat
sebelum upacara pernikahannya. Darma merasakan vaginanya mengencang pada
batang penisnya, dan kali ini, dia merasa seluruh tubuh Rina mengejang
sepanjang orgasmenya. Wanita ini adalah pemandangan terindah yang pernah
disaksikannya, punggungnya melengkung ke belakang ke arahnya seperti
sebuah busur panah yang direntangkan, matanya melotot indah, mulutnya
ternganga dalam lenguhan bisu. Darma bahkan dapat merasakan pancaran
dari orgasmenya menjalari batang penisnya saat dia tetap menyetubuhinya.
Dia
telah membuatnya mendapatkan orgasme seperti ini selama tiga kali,
hingga dia nyaris rubuh di atas washtafel, menerima hentakannya,
vaginanya hampir terasa kelelahan untuk orgasme lagi. Tapi Darma tahu
bagaimana membawanya ke sana.
“Kamu mengharapkan spermaku, iya
kan, Rina? Kamu ingin agar aku mengisimu dan membuat vaginamu terlumuri
spermaku yang sudah mengering saat berjalan di altar pernikahanmu, benar
kan wanita jalangku?”
“Oh ya… yaaa!” sang pengantin wanita mulai
kesulitan bernafas, dan Darma dapat merasakannya menyempit. Darma
melesakkan batang penisnya sedalam yang dia mampu, dengan setiap
dorongan yang keras, dan segera saja dia merasakan sensasi terbakar itu
รข€“ dan dia tahu dia tak mampu menahannya lebih lama lagi. Tepat saat
penisnya melesak jauh ke dalam vagina calon istri putranya, menyemburkan
cairan sperma yang banyak ke dalam kandungannya, dia merasakan tubuh
Rina menegang dan orgasme untuk sekali lagi.
Dicabutnya batang
penisnya keluar, menyaksikan lelehan sperma yang mengalir turun di
pahanya menuju ke kaitan stocking pernikahannya. Darma tersenyum. “Aku
akan menunggu di mobil, Rina…”
Perlahan Rina bangkit, masih
menggelenyar karena sensasi itu, wajahnya memerah, lututnya lemah,
vaginanya berdenyut dan bocor. “Mmm, baiklah ayah.”
Dia memutuskan
untuk melakukan “tradisinya” dan dan mengorek sperma ayah Hans dari
pahanya dengan jari tangan kirinya yang dilingkari oleh cincin berlian
pemberian Hans.
Saat Darma melihat mempelai wanita putranya masuk
ke dalam mobil, sudah rapi dan bersih, terlihat segar serta berbinar
wajahnya dan siap untuk upacara pernikahan, sedangkan bayangannya yang
terpantul dari kaca mobil adalah saat Rina memandang tepat di matanya
dan menjilat spermanya dari cincin berlian pemberian putranya.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih