Panggil saja aku “Vel” umurku sekarang 27 tahun, sekarang aku bekerja
pada sebuah perusahaan di salah satu kota di negara bagian New
Hampshire. Aku cukup salut dengan website ini. Dan singkatnya aku
tertarik untuk mencoba menceritakan apa yang aku alami dan kujalani
sampai saat ini. Saat ini aku tinggal bersama kakak perempuanku, panggil
saja “Kak Risa” Umurnya sekarang 31 tahun, 4 tahun lebih tua dariku.
Kehidupan kami saat ini begitu tenang, tertutup namun bahagia.
Aku
akan memulai dari awal bagaimana semuanya terjadi, percaya atau tidak
bahwa apa yang kualami ini tidak mengalami hambatan atau rintangan sama
sekali, hal yang membuatku sendiri heran bila memikirkannya. Awalnya 15
tahun yang lalu saat aku masih berumur 12 tahun. Kami besar dari
keluarga berada, keseluruhan saudaraku ada 5 orang. Nomor satu dan dua
laki-laki sedangkan yang ketiga perempuan. Kak Risa nomor empat dan aku
paling akhir. Sebenarnya aku lahir di Indonesia. Hanya memang Papaku
adalah pria berkebangsaan Amerika. Sedangkan Mamaku asli orang
Indonesia.
Waktu aku berumur 12 tahun, kami masih tinggal
di Indonesia. Tapi Papaku tidak disini karena ia memang tidak bekerja di
Indonesia. Setahuku dulu Mamaku juga sibuk bekerja, ia tidak terlalu
khawatir karena kedua kakakku yang lain sudah cukup dewasa dan dianggap
bisa menjaga kami. Aku maklum karena kedua orang tuaku memang berencana
mengurus kepindahan kami semua ke Amerika.
Sebenarnya kami
semua saling menyayangi satu sama lain. Jarang sekali kulihat ada
pertengkaran di antara kakak-kakakku. Tapi sejak kecil aku memang sudah
dekat sekali dengan Kak Risa. Memang dia yang selalu menemaniku saat aku
bermain. Ya selain itu jarak umur antara aku dan kakakku yang nomor
tiga sangat jauh sekitar 8 tahun. Kak Risa memang sangat sayang padaku,
hampir tiap kali aku selalu dapat bermanja-manja dengannya. Ya, hal
itulah yang membuatku sangat interest sekali dengan Kak Risa. Bahkan
kuingat seumurku waktu itu aku sudah mulai ada ketertarikan dengan
kakakku.
Pada awalnya aku hanya berandai-andai saja. Sebab
saat itu aku yakin sekali bahwa tidak mungkin aku menjalin hubungan
yang “lebih” dengan kakakku. Paling Kak Risa cuma menganggap aku adiknya
saja. Meskipun sebagai adik aku selalu mendapat perlakuan istimewa
darinya. Dari kecil aku dan Kak Risa memang tidak pernah berpisah, kamar
kamipun jadi satu. Sebenarnya saat aku berusia 9 tahun, aku sudah minta
kamar sendiri, tapi Kak Risa tidak setuju, alasannya sederhana, ia
tidak mau pisah kamar denganku, masa itu sebenarnya adalah masa di mana
aku agak enggan berbagi, inginnya memodifikasi kamar sendiri tanpa ada
yang mencampuri, tapi tidak jadi masalah, lagipula aku dulu penakut, dan
aku sudah terbiasa tidur dalam pelukan kakakku.
Mungkin
waktu kecil dulu aku tergolong bandel. Kalau Mama lagi tidak ada, orang
rumah pasti kubuat repot dengan ulahku. Kak Risa juga sering kujahili.
Biasanya kalau tidur malam Kak Risa hanya menggunakan celana dalam aja.
Aku tidak mengerti kenapa. Padahal kamar menggunakan AC. Seringnya aku
iseng memainkan dan menghisap puting susunya. Kak Risa mengetahui hal
itu tapi dia tidak pernah marah atau menegurku, paling cuma bilang,
“Kalo mau kaya gini kenapa nggak minta sama Mama aja sih?”. Lucunya hal
itu malah jadi kebiasaanku. Dan karena tidak ada yang tahu, kejadian
seperti itu berlangsung terus sampai usiaku beranjak 12 tahun.
Tapi makin besar aku mulai merasa tidak enak sendiri, meski kebiasaanku itu tidak jadi masalah buat Kak Risa.
Kak
Risa itu orangnya tomboy Sekali. Saat dia berumur 16 tahun dia ikut
beberapa bela diri. Aku tadinya tidak tertarik, tapi Kak Risa juga minta
aku ikut beladiri. Bisa dibayangkan seperti apa jadinya, gaya jalannya
jadi aneh, tidak feminin. Kalau tidak tertutup dengan wajahnya yang
cantik dan bodynya yang bagus, cowok pasti malas dekat dengan Kak Risa.
Apalagi ditambah sifat Kak Risa yang tertutup, dan cenderung idealis.
Selain itu kelihatannya Kak Risa juga tidak terlalu tertarik membina
hubungan dengan lawan jenis. Terutama setelah ikut beladiri. Tapi biar
begitu aku tahu kalau banyak cowok cakep yang suka sama dia. Dan Kak
Risa hanya datar saja menanggapinya. Soalnya aku sering terima telepon
untuk Kak Risa. Dan sering sekali dia tidak mau terima teleponnya. Bisa
dibilang Kak Risa sangat “Untouchable”.
Saat umurku hampir
13 tahun, awal mulai masuk SMP, aku suka dengan seorang gadis teman
sekelasku. Aku sangat suka padanya, tapi tidak berhasil mendekatinya,
intinya kalah bersaing. Saat itu perasaanku benar-benar tidak enak. Aku
berusaha menghibur diri dengan sering pergi ke rumah sahabat-sahabatku.
Di sanalah aku mulai mengenal buku-buku dan film khusus dewasa. Di
usiaku yang sekecil itu aku sudah memiliki majalah luar negeri khusus
dewasa, juga filmnya. Tidak sulit, karena nyaris seluruh sahabatku bukan
orang Indonesia. Dan mereka sangat bebas mendapatkan barang seperti itu
pada masa-masa tersebut.
Kak Risa tahu bahwa aku memiliki
barang-barang itu, memang itu susahnya kalau satu kamar, jujur saja Kak
Risa tidak suka aku memilikinya hingga aku sempat dimarahi juga
olehnya, dan ia memintaku untuk membuang barang-barang itu. Apa boleh
buat, bagiku lebih baik benda-benda itu yang aku singkirkan daripada aku
kehilangan kasih sayang Kak Risa.
Meski Kak Risa sudah
punya banyak kesibukan dengan studi dan kegiatan sekolahnya,
perhatiannya padaku tidak berubah, malah cenderung semakin berlebihan,
Kak Risa semakin sering memaksaku untuk menemaninya saat ia sedang
melakukan kegiatannya atau pergi kemanapun. Ia juga makin sering mencium
dan memelukku dengan mesra, bahkan di depan umum. Mulanya aku merasa
tidak nyaman dengan perlakuannya itu, tapi lama kelamaan aku merasa
nyaman juga. Perasaanku pada Kak Risa muncul kembali. Kalau dulu
ciumannya kutanggapi biasa saja, sekarang aku lebih senang membalasnya
dengan mesra. Aku pun mulai suka memberikan perhatian lebih pada kakakku
itu, mungkin karena merasa perhatiannya mendapat respon lebih dariku.
Kak Risa jadi makin sayang padaku. Setengahnya kami jadi mirip orang
yang sedang berpacaran, meskipun secara fisik tetap kelihatan kalau aku
adiknya.
Aku ingat malam itu saat aku pertama kali
melakukannya dengan kakakku, seperti biasa aku bercanda dengan Kak Risa
di dalam kamar, saat itu semua orang rumah sudah tidur, kesempatan itu
biasanya sering kugunakan untuk mencurahkan isi hati pada kakakku, semua
permasalahan yang kudapat hari itu selalu kutumpahkan padanya, dan Kak
Risa selalu merespon itu semua dengan sabar dan penuh pengertian, dan
memang kuakui beberapa waktu terakhir Kak Risa cenderung over. Kata-kata
dan sikapnya sangat mesra padaku apalagi kalau kami hanya berdua saja
seperti itu, perlakuannya itu sering membuat jantungku berdebar, aku
sadar sepenuhnya bahwa dia itu kakakku, tapi aku tidak mengerti kenapa
hatiku bisa bergejolak tidak karuan.
Kalau tidak salah
waktu itu Kak Risa mengenakan kaos dan celana dalam warna putih,
rambutnya dibiarkan terurai. Beda dengan kesehariannya, kakakku saat itu
terlihat sangat feminin dan cantik sekali. Aku ingat sesekali Kak Risa
meraih kepalaku dan menciumiku. Aku tidak berpikir macam-macam, hanya
memang aku sangat menikmati perlakuan Kak Risa padaku. Sampai suatu kali
Kak Risa mencium bibirku, kubalas dengan ciuman mesra. Yang sebenarnya
serabutan. Aku mencoba berlama-lama meski tidak yakin berhasil, tapi
karena aku menikmatinya, berhasil juga. Kulumat bibir kakakku itu dengan
lembut. Kak Risa kelihatannya juga suka dengan ciumanku. Sebab dia sama
sekali tidak berusaha menyudahi ciuman itu, bahkan kedua tangannya
semakin memelukku erat, aku bisa merasakan belaiannya di kepalaku. Tapi
sayangnya ciuman itu terhenti. Kak Risa menghela nafas sambil
memandangku aneh.
“Kakak kucium lagi ya”, mendengar itu Kak Risa masih diam.
Mungkin
dia masih heran dengan kelakuanku, memang tidak biasanya aku membalas
ciumannya sampai selama itu. Tapi tatapannya kemudian berubah mesra lalu
dia tersenyum dan justru ganti menciumku lagi. Kali ini ciumanku mulai
agresif. Bibir kami seolah tidak berhenti untuk saling melumat, diiringi
desahan-desahan erotis dari Kak Risa, detak jantungku menjadi semakin
cepat. kucoba mendorong Kak Risa agar merapat ke dinding. Kemudian
kuciumi jenjang leher kakakku. Tanganku yang dari tadi pasif sekarang
mulai mencoba melakukan eksplorasi kesana kemari.
Sementara
bibirku masih berkonsentrasi pada leher Kak Risa, tanganku telah
menyusup ke dalam kaos putihnya, dan tanpa kesulitan aku langsung dapat
menemukan buah dada Kak Risa yang tidak tertutup oleh bra sama sekali,
menurutku untuk ukuran gadis yang hampir 17 tahun, buah dada Kak Risa
tergolong cukup besar, tentu saja aku sudah sering melihatnya, karena
sampai saat itu kami masih sering mandi bersama. Aku mencoba meremasnya
dengan lembut. Kak Risa tampak menggeliat dan sesekali mendesah.
Perlahan
kunaikan kaos itu supaya tidak menghalangi buah dada Kak Risa. Dan
begitu buah dadanya terlihat, tanpa basa-basi langsung kuhisap putingnya
yang berwarna merah muda itu dan kuremas dengan bibirku. Aku
benar-benar menikmatinya seperti bayi yang sedang menyusu. Sesaat
kutanggalkan kaosku, juga celana pendekku. Kemudian kupeluk tubuh Kak
Risa dan makin kuat kuhisap puting susunya, sesekali kumainkan putingnya
dengan lidahku, kemudian kuhisap lagi. Karena terlalu enjoy, aku tidak
tahu bahwa ternyata Kak Risa telah menanggalkan kaos putihnya. Sehingga
saat dia memelukku erat, tubuhku benar-benar bersentuhan dengan tubuh
kakakku, dan bisa kurasakan tubuh kakakku yang harum dan sangat halus
itu. Lama sekali aku menikmati buah dada kakakku itu secara bergantian,
Kak Risa pun seolah tidak mau melepaskanku ia justru menekan kepalaku
kuat-kuat pada buah dadanya.
Tubuh kami sudah basah semua
oleh keringat. Sampai detik itu aku masih ragu untuk melakukan seks
dengan kakakku. Memang awalnya semua ini kupelajari dari semua majalah
dan film yang kulihat, tapi lama kelamaan naluriku mulai berinisiatif.
Karena masih ragu aku coba untuk menciumi bibir kakakku lagi. Sama
seperti sebelumnya, Kak Risa membalas ciuman itu dengan sangat mesra.
Dengan memberanikan diri aku membisikan sesuatu ke telinga Kak Risa.
“Kak, boleh aku lepas celana dalammu?”.
Kak Risa agak terkejut.
“Kamu mau apa dek..?”.
Aduh aku jawab gimana ya.
“Aku mau jilatin vagina kakak”.
Karena
ragu kata-kata itu keluar dengan asal dan pelan sekali. Aku takut.
Kupikir pasti kakak akan marah dan ia tidak bakalan mau.
“Ih, nakal”.
Jawab
Kak Risa spontan, Kak Risa kemudian memandangiku sambil tersenyum,
wajahnya agak memerah. Masih dengan posisi bersandar Kak Risa melepas
celana dalamnya perlahan-lahan. Slow motion itu membuat jantungku
semakin berdetak tidak menentu.
Sebenarnya aku setengah
heran kenapa Kak Risa sama sekali tidak marah ketika aku memintanya
melakukan hal itu, tapi sudahlah. Kemudian Kak Risa melebarkan pahanya.
Awalnya aku malu untuk melihat. Untuk menutupi hal itu, kuciumi lagi
bibir Kak Risa. Kemudian perlahan-lahan kuturunkan kepalaku sampai tepat
di depan vagina Kak Risa. Vagina Kak Risa nyaris tidak ditumbuhi
rambut. Jadi aku mampu memandang dengan leluasa gundukan vagina Kak
Risa, sebenarnya pemandangan ini juga tidak asing lagi bagiku, tapi
sedekat ini baru pertama kalinya. Kulihat ada cairan yang mengalir
keluar dari bagian bawah vagina kakakku disertai bau yang aneh. Perlahan
kubuka belahan daging yang menutupi lubang vagina Kak Risa. Dan
langsung kusapu dengan lidahku dari bawah ke atas berkali-kali. Saat itu
tubuh Kak Risa langsung mengejang. Dengan bibir dan lidahku
kupermainkan klitorisnya. Secara spontanitas kedua tangannya memegangi
kepalaku. Aku semakin asyik menjilati vagina kakakku itu, bahkan
sesekali kuhisap bagian bawahnya. Kudengar Kak Risa berulang-ulang
mendesah sambil menyebut namaku. Permainan itu luar biasa sekali, meski
cairan yang keluar rasanya tidak karuan, tapi aku benar-benar
menikmatinya.
Saat lidahku menyusup ke dalam lubang vagina
Kak Risa, sebisanya kujilati bagian dalam lubang itu. Kak Risa makin
terengah-engah. Nafasnya memburu tidak karuan. Lidahku juga makin liar
mengobrak-abrik bagian sensitif kakakku itu, sehingga semua tempat di
dalamnya tersapu oleh lidahku. Setelah beberapa menit Kak Risa agak
mengejangkan tubuhnya. Aku merasakan lidahku dialiri sesuatu yang
hangat. Bersamaan dengan erangan keras dari Kak Risa serta pahanya yang
menjepit kepalaku dengan sangat kuat. Kujilati cairan itu sampai bersih,
meskipun rasanya masih sama. Kemudian aku naik ke atas dan kuciumi lagi
Kak Risa.
“Adek, kamu nakal banget sih?”, ekspresi wajah Kak Risa sangat berbeda.
“Kak, aku sayang sama kakak”, Kak Risa memandangiku dengan sayu, tangannya mengusap pipiku.
“Kakak juga sayang kamu”.
Dengan berani aku mencoba mengajak Kak Risa untuk melakukan hubungan seks denganku.
“Kak, boleh aku melakukannya sama Kakak”.
Kak
Risa terdiam mematung, kepalanya tertunduk untuk beberapa saat. Suasana
benar-benar hening, sampai nafas kamipun terdengar sangat jelas.
Setelah itu dia kembali memandangku sambil bertanya, “Kamu yakin mau melakukannya Dek?”.
Suara
Kak Risa sangat pelan sekali. Aku tak menjawab, aku hanya melihat
tatapan mata Kak Risa yang sangat berbeda, aku tak bisa
menggambarkannya, tapi aku tahu Kak Risa rela melakukannya denganku.
Langsung kulepas celana dalamku. Kemudian aku agak bergeser ke bawah,
kulebarkan kedua kakinya. Senjataku tampak tegak berdiri, tapi tidak
sebesar orang dewasa, masih ukuran standart anak 12 tahun. Kak Risa
terus menatap wajahku saat aku mengarahkan senjataku tepat di depan
vaginanya.
“Kak..?”, sekali lagi kuminta persetujuannya.
Ia
mengangguk pelan. Perlahan kudorong masuk senjataku. Tapi tidak
berhasil, dasar masih amatir hijau. Sampai yang ketiga kalinya. Kak Risa
kemudian meraih dan menahan pinggangku sambil mengarahkan vaginanya
tepat di ujung senjataku, kemudian kucoba mendorong lagi, meski sulit
dan agak sakit tapi berhasil juga kumasukkan seluruh senjataku ke dalam
vagina Kak Risa, perlahan kugerakkan pinggangku. Kedua tangan Kak Risa
tampak meremasi selimut tidur kami. Desahannya mulai terdengar lagi,
kuperhatikan Kak Risa tampak sulit menyesuaikan diri. Pelan tapi pasti,
kupercepat tempo gerakanku. Sebenarnya saat itu senjataku terasa perih
sekali. Aku merasa nggak enak banget. Tapi erangan Kak Risa yang semakin
menjadi membuatku tidak berpikir lagi.
Makin kuhentakan
pinggangku, dengan gerakan yang teratur, Kak Risa terus menerus
menghentakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, sesekali ia meregang
sambil mengerang keras. Aku sempat takut juga kalau sampai ada orang
rumah yang terbangun, tapi untungnya kamar kami di atas dan paling
ujung, agak jauh dari kamar Mama dan kakak-kakakku yang lain. Tiba-tiba
kurasakan pinggang Kak Risa juga ikut bergerak, seperti memutar,
sesekali Kak Risa ikut menghentakkan pinggangnya. Aku baru benar-benar
merasakan enaknya melakukan hal itu. Dengan iseng kuremas juga buah dada
Kak Risa, dan Kak Risa merespon dengan menggenggam tanganku kuat.
Gerakan pinggang Kak Risa makin cepat. Kak Risa seperti sudah biasa
melakukan hal ini. Dengan pemikiran itu maka semakin agresif aku
menghentakkan pinggangku. Tentu saja hal ini membuat Kak Risa mengerang
semakin keras. Dari tubuhku dan Kak Risa keringat semakin mengucur
deras, padahal AC di ruangan cukup dingin.
Beberapa menit
kemudian pergerakanku mulai melambat, aku seperti agak pusing, aku hanya
mampu menghentakkan pinggangku sesekali, kadang aku hanya diam
menikmati remasan dinding-dinding vagina Kak Risa. Kurasa badanku mulai
lelah. Tiba-tiba Kak Risa meraih tubuhku dan mendekapku erat sekali,
pinggangnya menghentak beberapa kali, rasanya luar biasa. Senjataku
seperti ditarik makin masuk ke dalam, dan dilumuri cairan yang hangat,
diiringi erangan cukup keras dari Kak Risa. Saat Kak Risa melepas
dekapannya, aku merasa tubuhku amat lelah sekali, karena tidak kuat aku
berguling di sisi Kak Risa. Pada saat itu aku juga merasa dari senjataku
ada yang mau keluar. Rasanya enak sekali, baru kali itu aku merasakan
yang seperti ini hingga akhirnya cairan itu keluar membasahi tempat
tidur. Entah aku tidak ingat apa-apa lagi setelah itu. Paginya ketika
aku sadar, Kak Risa sudah memeluk sambil menciumiku. Kami masih dalam
keadaan tanpa pakaian sehelaipun.
“Kakak nggak ngira kalau Adek yang dulu sering kakak gendong bisa berbuat ini sama kakak”, bisik Kak Risa di telingaku.
Aku sendiri setengah tidak percaya sudah melakukannya dengan kakakku
“Kak.., aku sayang banget sama Kakak, aku cinta sama Kakak”.
Kupeluk Kak Risa dengan kuat. Kak Risa tersenyum dan menciumku lagi.
“Kakak
ngerti kok Dek.., kakak juga sayang dan cinta banget sama kamu, kakak
hanya tidak menyangka kamu dewasa secepat ini. Dan jujur aja kakak
seneng banget bisa melakukan ini sama kamu, Adekku sayang”.
“Tapi ayo cepet bangun, sprei ini harus segera dicuci”, lanjut Kak Risa lagi.
“Lho, memangnya kenapa?”, tanyaku singkat.
“Kakak nggak mau kalau bekas darah di sprei itu sampai ketahuan Mama”, jawab Kak Risa.
Aku setengah terkejut, “Darah?, darah apa Kak?”, tanyaku.
Kak Risa tidak menjawab, ia langsung memintaku berdiri dan cepat-cepat melepaskan seprei tempat tidur kami.
Awalnya
aku memang tidak tahu, tapi belakangan aku baru mengerti, bahwa
ternyata malam itu aku telah mengambil keperawanan kakakku sendiri, di
usiaku yang belum lagi genap 13 tahun. Bodohnya aku, seharusnya aku
sudah tahu mengenai hal itu. Aku jadi merasa bersalah, berulang kali aku
minta maaf padanya, meskipun Kak Risa mengakui bahwa ia sangat rela
melepas keperawanannya padaku. Hanya ia tidak mengira aku akan
mengambilnya sepagi ini. Aku jadi makin sayang padanya. Sejak kejadian
itu aku nggak pernah mencoba untuk mencari pacar. Karena Kak Risa sudah
menjadi segalanya bagiku.
Setelah kejadian itu pula Kak
Risa juga menutup diri pada pergaulannya. Secara otomatis bagi Kak Risa
statusku adalah adik sekaligus kekasihnya, kehidupan kami jadi semakin
tertutup. Entah sejak saat itu sudah berapa kali kami melakukannya, dan
keluarga kami benar-benar tidak tahu akan hal itu. Lepas SMU, aku sudah
tidak di Indonesia. Aku melanjutkan studi ke Amerika. Tapi tetap aku tak
bisa berpisah dengan Kak Risa. Aku meminta Kak Risa ikut denganku,
walau sebenarnya Papa dan Mama tidak setuju. Tapi mereka tak bisa
apa-apa karena Kak Risa juga memaksa untuk menemaniku.
Sampai
saat seluruh keluargaku pindah ke Amerika pun, mereka tidak pernah tahu
bahwa kami telah menjalani kehidupan yang exklusif seperti suami istri.
Sekarang Kak Risa sudah bekerja pada sebuah bank di kota yang sama
denganku. Kami tinggal di rumah yang jauh dari keramaian, dan kami sudah
sepakat untuk menjalani kehidupan yang “tertutup” ini. Lagipula sampai
saat ini keluarga kami tidak menaruh curiga sama sekali, mungkin pola
pikir mereka sudah sama seperti orang setempat, tidak mau ikut campur
urusan pribadi orang lain.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih