Para pembaca sekalian, terserah anda percaya atau tidak, tetapi kisah
ini benar-benar terjadi. Waktu itu kalau tidak salah sekitar akhir
tahun 2006 yang lalu, saat saya diharuskan melakukan medical check up di
sebuah klinik kesehatan di Jakarta, guna memenuhi persyaratan agar
diterima bekerja di sebuah perusahaan dan kebetulan saya juga diajak
teman saya untuk mengikuti program asuransi jiwa karena dia adalah agen
dari salah satu perusahaan terkemuka di Indonesia, jika tidak salah nama
perusahaannya adalah AIA.
Sebenarnya saya malas melakukan
medical check up ini. Pasti lagi-lagi cuma cek darah, air seni, dan
kotoran saja. Kemudian diperiksa oleh dokter memakai stetoskop untuk
menyakinkan bahwa saya terkena penyakit atau tidak. Itu saja menurut
saya, tidak ada yang lain. Dokter yang akan memeriksa saya paling-paling
juga dokter cowok, mana sudah tua lagi.
Dengan
sekali-sekali menguap karena jenuh karena sudah hampir setengah jam saya
menunggu dokter yang tak kunjung datang. Padahal saya sudah melalui
proses medical check up yang pertama, yaitu pemeriksaan darah, air seni,
dan kotoran. Beberapa kali saya menanyakan pada orang di loket
pendaftaran dan selalu memperoleh jawaban sama, yaitu agar saya sabar
sebab dokternya dalam perjalanan dan mungkin sedang terjebak macet. Saya
melihat arloji di tangan saya. Akhirnya saya memutuskan bahwa kalau
dokternya tidak juga datang limabelas menit lagi, maka saya akan pulang
saja ke rumah.
Dengan menarik nafas kesal, saya memandangi
sekeliling saya. Tahu-tahu mata saya tertumbuk pada seorang wanita yang
baru saja masuk ke dalam klinik tersebut. Amboi, cantik juga dia. Saya
taksir usianya sekitar 35 tahun. Tetapi alamak, tubuhnya seperti cewek
baru duapuluhan. Kencang dan padat. Payudaranya yang membusung cukup
besar itu tampak semakin menonjol di balik kaos oblong ketat yang ia
kenakan. Gumpalan pantatnya di balik celana jeans-nya yang juga ketat,
teramat membangkitkan selera. Batinku, coba dokternya dia ya. Tidak
apa-apa deh kalau harus diperiksa berjam-jam olehnya. Akan tetapi karena
rasa bosan yang sudah menjadi-jadi, saya tidak memperhatikan wanita itu
lagi. Saya kembali tenggelam dalam lamunan yang tak tentu arahnya.
“Mas,
silakan masuk. Itu dokternya sudah datang.” Petugas di loket
pendaftaran membuyarkan lamunan saya. Saat itu saya sudah hendak
memutuskan untuk pulang ke rumah, mengingat waktu sudah berlalu
limabelas menit. Dengan malas-malasan saya bangkit dari bangku dan
berjalan masuk ke ruang periksa dokter.
“Selamat malam”,
suara lembut menyapa saat saya membuka pintu ruang periksa dan masuk ke
dalam. Saya menoleh ke arah suara yang amat menyejukkan hati itu. Saya
terpana, ternyata dokter yang akan memeriksa saya adalah wanita cantik
yang tadi sempat saya perhatikan sejenak. Seketika itu juga saya menjadi
bersemangat kembali.“Selamat malam, Dok”, sahut saya. Ia tersenyum.
Aah, luluhlah hati saya karena senyumannya ini yang semakin membuatnya
cantik.“Oke, sekarang coba kamu buka kaos kamu dan berbaring di sana”,
kata sang dokter sambil menunjuk ke arah tempat tidur yang ada di sudut
ruang periksa tersebut.
Saya pun menurut. Setelah
menanggalkan kaos oblong, saya membaringkan diri di tempat tidur. Dokter
yang ternyata bernama Dokter S itu menghampiri saya dengan berkalungkan
stetoskop di lehernya yang jenjang dan putih.“Kamu pernah menderita
penyakit berat? Tipus? Lever atau yang lainnya?” Tanyanya. Saya
menggeleng.
“Sekarang coba kamu tarik nafas lalu
hembuskan, begitu berulang-ulang ya.” Dengan stetoskopnya, Dokter S
memeriksa tubuh saya. Saat stetoskopnya yang dingin itu menyentuh dada
saya, seketika itu juga suatu aliran aneh menjalar di tubuh saya. Tanpa
saya sadari, saya rasakan, batang kemaluan saya mulai menegang. Saya
menjadi gugup, takut kalau Dokter S tahu. Tapi untuk ia tidak
memperhatikan gerakan di balik celana saya. Namun setiap sentuhan
stetoskopnya, apalagi setelah tangannya menekan-nekan ulu hati saya
untuk memeriksa apakah bagian tersebut terasa sakit atau tidak, semakin
membuat batang kemaluan saya bertambah tegak lagi, sehingga cukup
menonjol di balik celana panjang saya.
“Wah, kenapa kamu
ini? Kok itu kamu berdiri? Terangsang saya ya?” Mati deh! Ternyata
Dokter S mengetahui apa yang terjadi di selangkangan saya. Aduh! Muka
ini rasanya mau ditaruh di mana. Malu sekali!“Nah, coba kamu lepas
celana panjang dan celana dalam kamu. Saya mau periksa kamu menderita
hernia atau tidak.” Nah lho! Kok jadi begini?! Tapi saya menurut saja.
Saya tanggalkan seluruh celana saya, sehingga saya telanjang bulat di
depan Dokter S yang bak bidadari itu.Gila! Dokter S tertawa melihat
batang kemaluan saya yang mengeras itu. Batang kemaluan saya itu memang
tidak terlalu panjang dan besar, malah termasuk berukuran kecil. Tetapi
jika sudah menegang seperti saat itu, menjadi cukup menonjol.
“Uh,
burung kamu biar kecil tapi bisa tegang juga”, kata Dokter S serasa
mengelus batang kemaluan saya dengan tangannya yang halus. Wajah saya
menjadi bersemu merah dibuatnya, sementara tanpa dapat dicegah lagi,
batang kemaluan saya semakin bertambah tegak tersentuh tangan Dokter S.
Dokter S masih mengelus-elus dan mengusap-usap batang kemaluan saya itu
dari pangkal hingga ujung, juga meremas-remas buah zakar saya.“Mmm..
Kamu pernah bermain?” Saya menggeleng. Jangankan pernah bermain. Baru
kali ini saya telanjang di depan seorang wanita! Mana cantik dan molek
lagi!
“Aahh..” Saya mendesah ketika mulut Dokter S mulai
mengulum batang kemaluan saya. Lalu dengan lidahnya yang kelihatannya
sudah mahir digelitiknya ujung kemaluan saya itu, membuat saya
menggerinjal-gerinjal. Seluruh batang kemaluan saya sudah hampir masuk
ke dalam mulut Dokter S yang cantik itu. Dengan bertubi-tubi
disedot-sedotnya batang kemaluan saya. Terasa geli dan nikmat sekali.
Baru kali ini saya merasakan kenikmatan yang tak tertandingi seperti
ini.
Dokter S segera melanjutkan permainannya. Ia
memasukkan dan mengeluarkan batang kemaluan saya dari dalam mulutnya
berulang-ulang. Gesekan-gesekan antara batang kemaluan saya dengan
dinding mulutnya yang basah membangkitkan kenikmatan tersendiri bagi
saya.“Auuh.. Aaahh..” Akhirnya saya sudah tidak tahan lagi. Kemaluan
saya menyemprotkan cairan kental berwarna putih ke dalam mulut Dokter S.
Bagai kehausan, Dokter S meneguk semua cairan kental tersebut sampai
habis.“Duh, masa baru begitu saja kamu udah keluar.” Dokter S meledek
saya yang baru bermain oral saja sudah mencapai klimaks.
“Dok..
Saya.. baru pertama kali.. melakukan ini..” jawab saya
terengah-engah.Dokter S tidak menjawab. Ia melepas jas dokternya dan
menyampirkannya di gantungan baju di dekat pintu. Kemudian ia
menanggalkan kaos oblong yang dikenakannya, juga celana jeans-nya. Mata
saya melotot memandangi payudara montoknya yang tampaknya seperti sudah
tidak sabar ingin mencelat keluar dari balik BH-nya yang halus. Mata
saya serasa mau meloncat keluar sewaktu Dokter S mencopot BH-nya dan
melepaskan celana dalamnya. Astaga! Baru sekarang saya pernah melihat
payudara sebesar ini. Sungguh besar namun terpelihara dan kencang. Tidak
ada tanda-tanda kendor atau lipatan-lipatan lemak di tubuhnya. Demikian
pula pantatnya. Masih menggumpal bulat yang montok dan kenyal.
Benar-benar tubuh paling sempurna yang pernah saya lihat selama hidup
saya. Saya rasakan batang kemaluan saya mulai bangkit kembali
menyaksikan pemandangan yang teramat indah ini.
Dokter S
kembali menghampiri saya. Ia menyodorkan payudaranya yang menggantung
kenyal ke wajah saya. Tanpa mau membuang waktu, saya langsung menerima
pemberiannya. Mulut saja langsung menyergap payudara nan indah ini.
Sambil menyedot-nyedot puting susunya yang amat tinggi itu, mengingatkan
saya waktu saya menyusu pada ibu saya selagi kecil. Dokter S adalah
wanita yang kedua yang pernah saya isap-isap payudaranya, tentu saja
setelah ibu saya saat saya masih kecil.“Uuuhh.. Aaah..” Dokter S
mendesah-desah tatkala lidah saya menjilat-jilat ujung puting susunya
yang begitu tinggi menantang. Saya permainkan puting susu yang memang
amat menggiurkan ini dengan bebasnya. Sekali-sekali saya gigit puting
susunya itu. Tidak cukup keras memang, namun cukup membuat Dokter S
menggelinjang sambil meringis-ringis.Tak lama kemudian, batang kemaluan
saya sudah siap tempur kembali. Saya menarik tangan Dokter S agar ikut
naik ke atas tempat tidur. Dokter S memahami apa maksud saya. Ia
langsung naik ke atas tubuh saya yang masih berbaring tertelentang di
tempat tidur. Perlahan-lahan dengan tubuh sedikit menunduk ia
mengarahkan batang kemaluan saya ke liang kewanitaannya yang
sekelilingnya ditumbuhi bulu-bulu lebat kehitaman. Lalu dengan cukup
keras, setelah batang kemaluan saya masuk satu sentimeter ke dalam liang
kewanitaannya, ia menurunkan pantatnya, membuat batang kemaluan saya
hampir tertelan seluruhnya di dalam liang senggamanya. Saya melenguh
keras dan menggerinjal-gerinjal cukup kencang waktu ujung batang
kemaluan saya menyentuh pangkal liang kewanitaan Dokter S. Menyadari
bahwa saya mulai terangsang, Dokter S menambah kualitas permainannya. Ia
menggerak-gerakkan pantatnya berputar-putar ke kiri ke kanan dan naik
turun ke atas ke bawah. Begitu seterusnya berulang-ulang dengan tempo
yang semakin lama semakin tinggi. Membuat tubuh saya menjadi meregang
merasakan nikmat yang tiada tara.
Saya merasa sudah hampir
tidak tahan lagi. Batang kemaluan saya sudah nyaris menyemprotkan
cairan kenikmatan lagi. Namun saya mencoba menahannya sekuat tenaga dan
mencoba mengimbangi permainan Dokter S yang liar itu. Akhirnya..,
“Aaahh.. Ouuhh..” Saya dan Dokter S sama-sama menjerit keras. Kami
berdua mencapai klimaks hampir bersamaan. Saya menyemprotkan air mani
saya di dalam liang kewanitaan Dokter S yang masih berdenyut-denyut
menjepit batang kemaluan saya.Demikianlah peristiwa yang terjadi siang
itu. Dan mau tahu apa hasil medical check up yang istimewa tersebut?
Saya dinyatakan sehat secara fisik dan tentu saja secara mental. Apalagi
secara birahi. Tentu para pembaca semua tahu maksud saya ini. Dan
akhirnya saya berhasil diterima di perusahaan besar itu yang merupakan
impian saya sejak lama dan saya berhasil mendapatkan asuransi policy
dari AIA sekalian membantu teman saya mendapatkan komisinya. Sayangnya,
permainan saya yang menggebu-gebu tersebut dengan Dokter S merupakan
pengalaman saya yang pertama sekaligus yang terakhir. Ia sepertinya
menghindar apabila saya sengaja datang ke tempat praktek dokternya.
Dengan alasan sibuk atau sejuta alasan lainnya, Dokter S selalu menolak
menemui saya. Saya tidak tahu mengapa ia bersikap seperti itu. Ah, biar
saja!
No comments:
Post a Comment
Terimakasih